02 Juni 2006

Bisnis dan Kehidupan Para Jagoan MLM

Setelah berjuang keras dari level terendah, para peraih posisi puncak di jaringan bisnis MLM kini menikmati limpahan uang, fasilitas kemewahan, popularitas dan pergaulan luas. Toh, buat mereka, bukan berarti kini saatnya ongkang-ongkang kaki.
Sambil tergesa-gesa, Alex I.W., Distributor Top CNI, memasuki ruang lobi kantor perusahaan multilevel marketing (MLM) di Jl. Balikpapan, Tomang, Jakarta sore itu. Seraya menjabat tangan SWA, ia berucap, �Saya baru saja tiba dari Singapura, dan langsung ke sini.� Pria yang kini menetap di Singapura ini memang kerap wira-wiri Indonesia-Singapura, 2-3 kali sebulan. Selain itu, tiap bulan dari Singapura ia rutin bepergian ke India, Vietnam dan Sri Lanka. �Saya sedang membangun jaringan (CNI) ke negara-negara Asia,� ujarnya sambil tersenyum lebar.
Alex adalah orang pertama di CNI yang meraih Crown, alias posisi tertinggi di jejaring CNI. Sebagai sosok pionir, pria yang bergabung dengan CNI selama 19 tahun ini, memiliki jaringan yang sangat masif, luas, dan dominan di CNI. Bayangkan, dengan sebuah jaringan MLM yang mencakup sekitar 500 ribu orang, kontribusinya sekitar 70% bagi pendapatan CNI yang mencapai triliunan rupiah per tahun. Hebatnya lagi, dari 8 orang peraih Crown, lima di antaranya adalah Alex dan empat downline-nya sendiri.
Toh, Alex bukan satu-satunya sosok yang sukses besar di bisnis berbasis MLM seperti CNI. Ada beberapa nama lain dari perusahaan berbasis jaringan MLM yang juga mampu mencatatkan diri sebagai top leader di jejaringnya masing-masing. Sebut saja Robert dan Ranti Angkasa dari Amway; Sofia Achmad dan Liesye Kaleb dari Tupperware; Louis Tendean dan Ferawaty Hartono dari Tianshi; serta Mulyo Hadi dan Nancy Sparingga dari Herbalife. Dari segi pendapatan dan kompensasi yang mereka terima, para top leader MLM ini sebenarnya amat pantas berbangga diri. Ambil contoh Louis Tendean yang sukses di Tianshi. Mantan pebisnis panci dan VCD ini kini telah menerima bonus bernilai tinggi seperti mobil BMW 318i. Bonusnya saja diperkirakan mencapai Rp 500 juta per bulan. Padahal, ia baru bergabung dengan Tianshi awal 2001. Menariknya lagi, usianya relatif muda, 31 tahun. Boleh jadi, pria yang tak sempat menamatkan kuliahnya di Fakultas Teknik Universitas Maranatha, Bandung ini merupakan top leader MLM paling muda dibanding sejawat top leader yang lain.
Para jagoan MLM ini terus terang keberatan menyebutkan berapa persisnya penghasilan bulanan mereka. Namun, banyak pihak yang memastikan penghasilan mereka di kisaran puluhan sampai ratusan juta rupiah per bulan. Ini setara dengan gaji direktur di perusahaan top di Jakarta.
Yang mungkin belum banyak diketahui orang awam, di balik penghasilan besar itu mereka punya kesibukan yang tak kalah padat dibanding para pemimpin perusahaan besar. Sebagai contoh diungkapkan Sofia Achmad, bahwa hari-harinya -- Senin hingga Sabtu -- digunakan untuk menjalankan bisnis Tupperware, sedangkan Minggu didedikasikan penuh untuk keluarga. Dalam seminggu, wanita berdarah Arab kelahiran Malang, 18 Februari 1961 ini meluangkan tiga hari untuk mengembangkan bisnis Tupperware ke beberapa daerah. Sebutlah, hari Rabu, Kamis dan Sabtu ia berkunjung ke Subang, Tasikmalaya dan Garut. Selebihnya, Senin, Selasa dan Jumat, ia gunakan untuk mengelola bisnis Tupperware di wilayah Bandung. Basis bisnis Sofia memang di Kota Kembang.
Tiap hari saya berangkat kerja sekitar pukul 07.30, dan sampai di rumah lagi sekitar pukul 22.00,� ujar satu-satunya peraih posisi Platinum, alias tertinggi di jaringan Tupperware ini. Bahkan, ketika melihat minat masyarakat makin tinggi terhadap Tupperware, istri Achmad Baswedan ini terkadang pulang sampai jam tiga dini hari. �Namun karena saya suka dengan pekerjaan ini, saya tak merasa berat atau terbebani,� ucap Sofia, lulusan Teknik Kimia ITB tahun 1984.
Setiap hari, jadwal kerja Sofia cukup padat -- terutama untuk pertemuan dengan sejumlah manajer dalam jaringannya, baik di Bandung maupun di daerah-daerah lain. Di sini ia melakukan pelatihan, sharing dan memompa semangat mereka. Ia juga meluangkan waktu untuk menerima tamu dan para dealer setiap hari, mengontrol kinerja kantor, serta mengadakan acara-acara khusus yang menarik demi pengembangan jaringan. Alex, yang punya jejaring di mancanegara, tentunya lebih repot lagi mengatur waktu. Sekarang, waktunya -- baik ketika berada di Indonesia maupun di luar negeri -- lebih difokuskan pada acara yang strategis, seperti wawancara, pertemuan, pelatihan, dan presentasi dalam acara-acara besar CNI. Setiap ke Indonesia ia menyediakan waktu sekitar seminggu. Begitu pula jika bertandang ke negara lain seperti India.
Alex mengungkapkan kepindahannya ke Singapura sejak dua tahun yang lalu, sebenarnya dalam rangka memudahkan langkahnya bepergian ke negara-negara Asia seperti India, Sri Lanka dan Vietnam. �Dari Singapura lebih gampang aksesnya,� ujar Sarjana Geologi lulusan Universitas Trisakti tahun 1986 ini. Pria kelahiran Makassar, September 1961 ini membenarkan sekarang ia serius mengembangkan jaringannya ke negara-negara Asia. Menurutnya, respons masyarakat yang bagus di India. Di negara itu CNI memiliki jaringan 60 ribu orang, dan membuka 30 gerai. �Separuhnya (berasal) dari jaringan saya,� ujar pria berusia 44 tahun ini bangga. Ia menyamakan antusiasme masyarakat India dengan CNI seperti halnya masyarakat Indonesia. Tahun depan (2006) ia menargetkan bisa mengembangkan jaringan di Cina. �Saya melihat karakter masyarakat di negara-negara itu tak berbeda jauh dari kita,� ujarnya memberi alasan.
Baik Alex maupun Sofia mengaku saat ini mereka secara pribadi tak melakukan upaya rekrutmen baru. Pasalnya, peran itu dilakukan para dealer dan manajer di bawah jaringan mereka. Peran mereka sendiri lebih pada upaya mempromosikan bisnis MLM yang mereka kembangkan.
Keberhasilan meraih peringkat puncak di bisnis MLM ternyata juga berimplikasi pada gaya hidup sebagian dari mereka. Alex mengakui, sebagai orang nomor satu di jaringan distributor CNI, ia �terpaksa� mematok standar tinggi. Contohnya, untuk menginap di hotel, pengguna arloji merek Cartier ini selalu memilih hotel bintang lima. Jika makan, ia memastikan restonya punya nama beken. Ia juga tak mau memilih penerbangan yang murah, kecuali terpaksa. �Untuk Indonesia saya mesti memilih Garuda,� ujar pengguna Jaguar warna metalik dan Toyota Previa ini. Tujuannya, ia beralasan, untuk menjaga citra.
Menurut Alex, semua biaya untuk memenuhi standar itu dirogoh dari koceknya sendiri. Begitu pula biaya untuk pengembangan jaringan ke luar negeri. �Saya tiap bulan mengeluarkan dana puluhan sampai ratusan juta rupiah untuk ini,� ujar mantan dosen Universitas Trisakti, yang melihat hal itu sebagai bagian dari investasinya dalam menjalankan bisnis CNI. Lain ceritanya Sofia Achmad dan Liesye Kaleb yang memilih tak mematok standar tertentu. �Ah, saya biasa-biasa saja,� ujar Sofia. Sofia dan Liesye mengaku ke mana-mana cukup menggunakan Toyota Innova yang mereka miliki hasil dari bisnis. Bagi Liesye yang kini berada di peringkat tiga, itu saja sudah luar biasa. Pasalnya, mantan kasir apotek Kimia Farma, Jakarta ini mengaku sebelumnya tak membayangkan akan mampu membeli mobil itu dari kantongnya sendiri. Kendati dari segi tunggangan sederhana, kini Sofia memiliki kantor mentereng berlantai tiga seluas sekitar 300 m2 per lantai di kawasan Buah Batu, Bandung.
Yang pasti, apa yang mereka peroleh saat ini tentu saja tak datang tiba-tiba, melainkan berkat kerja keras dan pantang menyerah. Ketika memulai bisnis ini, mereka juga orang yang teramat biasa. Alex mungkin contoh yang menarik. Suami dari Rini Sulistiyanti (43 tahun) dan ayah dari Intan K.W. (13 tahun), Vania K.W. (12 tahun) dan Ryan K.W. (11 tahun) ini mengaku tadinya malah pengangguran. �Saya baru lulus sarjana, daripada tak ada kerjaan saya ikut CNI pada 1986,� ujar bungsu dari 7 bersaudara ini. Setelah itu ia sempat vakum dua tahun, dan selama masa itu ia menjadi dosen di almamaternya. Selanjutnya, ia bekerja di Caltex sebagai karyawan kontrak selama 1,5 tahun di Rumbai, Pekanbaru.
Perubahan terjadi setelah ia mengikuti pertemuan CNI yang menampilkan Xaverius Naibaho asal Medan sebagai pembicara. Ia teringat ketika itu Naibaho menceritakan hanya dalam tempo 6 bulan bisa memiliki penghasilan Rp 5 juta. �Saya sempat terpana waktu itu,� ujar Alex menceritakan awal perubahan yang drastis dirinya. Tahun 1989 ia berkomitmen untuk serius menjalani bisnis MLM CNI. Buah keseriusannya mulai kelihatan, ketika pada akhir 1989 pendapatan Alex mencapai Rp 1 juta.
Sejak itu, kinerja sekaligus pendapatan Alex seperti tak terbendung. Setahun berselang (Desember 1990), Alex bisa menggaet penghasilan Rp 10 juta sebulan. Enam bulan kemudian (Juli 1991), ia meraih bonus kepemilikan mobil mewah. �Saya menjadi orang yang pertama kali meraih fasilitas ini,� ujarnya bangga. Sejak 1999, ia malah berhasil meraih semua fasilitas kemewahan di CNI, seperti kepemilikan rumah, jatah jalan-jalan ke luar negeri dan mobil mewah. Saat itu ia mulai memperoleh publikasi luas, sebab untuk pertama kalinya Harian Kompas menuliskan profilnya setengah halaman. Yang lebih membanggakannya, pada Juli 1994 ia meraih posisi tertinggi (Crown) dan satu-satunya di CNI saat itu. Hingga sekarang, posisi ini berhasil ia pertahankan.
Adapun Sofia tadinya seorang ibu rumah tangga. Wanita yang awalnya senang berjualan beragam perlengkapan dapur ini masuk Tupperware di awal 1992. Ia diajak bergabung dengan Tupperware oleh salah seorang teman pria yang juga aktif berjualan perlengkapan dapur. Hanya dalam tempo tiga bulan, Sofia berhasil meraih posisi manajer dan beromset Rp 9 juta per bulan. Tahun1994 ia merebut gelar Queen of Conference -- gelar paling bergengsi untuk level manajer di Tupperware. Sejak itu ia mendapat kesempatan ke luar negeri seperti ke Australia dan Hong Kong.
Pada 1995 ibu dari Farah Fairuz (19 tahun), Irsyad Izzedin (15 tahun), dan Muhammad Hanif (10 tahun) ini dipercaya menjadi distributor dan boleh membuka kantor sendiri. Sejak itu, Sofia makin terpacu untuk terus meningkatkan kinerjanya. Hasil manisnya pun dirasakan. Pada 2001 ia menjadi Top 1 Distributor di jaringan Tupperware Indonesia (yang masih dipertahankannya hingga kini) dan menduduki posisi 28 di jaringan Tupperware dunia. Tak heranlah, Kota Bandung -- tempat berkiprah Sofia -- menjadi kontributor paling besar bagi total pendapatan Tupperware Indonesia.
Baik Sofia maupun Alex mengungkapkan cara untuk mencapai posisi tertinggi adalah kerja keras dan fokus pada keberhasilan yang bakal dicapai. Itulah sebabnya Alex mengaku tak pernah memikirkan penolakan dari orang-orang yang diajaknya. �Saya bahkan tidak marah jika mereka membanting pintu atau tak hadir sekalipun,� kata Alex. Baginya CNI adalah urusan mati dan hidup, karena itu ia bersikap tak akan cepat putus asa.
Kiat lain yang dijalankan Alex adalah duplikasi dan inovasi. Alex mengungkapkan ia selalu berusaha mentransfer hal-hal yang ia lakukan dan ia ketahui kepada orang lain. Ia berupaya agar dalam jaringannya lahir orang-orang yang memiliki kemampuan yang sama dengannya. Sementara untuk inovasi, ia berusaha membuat sesuatu yang baru. Salah satunya, demo perbandingan sabun cuci produk CNI dengan produk yang lain. �Sampai sekarang model demo saya itu masih digunakan,� katanya bangga. Ia juga memperkenalkan acara semacam presentasi masalah kesehatan. Pengetahuannya sendiri ia gali dari mendalami buku-buku kesehatan. �Kadang-kadang saya merasa seperti dokter,� sambungnya sambil tertawa lebar.
Kini setelah mendapat posisi tertinggi, beberapa aktivitas yang dulu ia lakukan banyak berkurang. Pasalnya, peran seperti itu telah digantikan oleh para downline-nya. Namun untuk mempertahankan posisi ini, Alex dan Sofia berujar, kuncinya adalah komunikasi, sharing, dan terus memacu kinerja jaringan.
Sofia sendiri mengaku memiliki beberapa cara khusus. Yang utama, �Saya memberi peluang kepada manajer-manajer saya untuk membuka kantor,� ujarnya. Seperti diketahui, untuk bisa membuka kantor, seorang distributor harus di-back up oleh upline-nya. �Semakin banyak manajer saya yang bisa membuka kantor seperti saya, kepercayaan mereka pada saya semakin besar,� ujarnya. Konsekuensinya jika ada yang mundur ia harus ikut turun tangan. Hal ini terjadi pada salah satu manajernya di daerah. Supaya kantor tidak tutup, mau tak mau ia menggantikan posisi yang bersangkutan di sana.
Kiat Sofia lainnya adalah memberikan bonus secara langsung kepada manajer-manajernya. �Ini untuk menunjukkan apresiasi saya pada mereka,� ujarnya. Ia juga kerap memberi informasi kepada timnya tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Tupperware. Supaya lebih kompak, wanita yang memiliki 174 manajer ini mengadakan 7 seragam untuk pakaian mereka di lapangan. �Jadi saya biasa SMS kepada mereka jika ingin menggunakan seragam tertentu,� ungkapnya.
Dengan penghasilan bulanan yang relatif besar, ke mana mereka menginvestasikan uangnya? Tak seperti Sofia yang relatif tertutup, terus terang Alex mengungkapkan sekarang portofolio investasinya meliputi properti (bangunan), saham dan perhiasan. Hanya saja, berapa besarnya investasi dan persentase tiap-tiap bentuk investasi, Alex tak bersedia menyebutkan. �Saya menyerahkan penanganannya kepada profesional,� katanya diplomatis.
Yang jelas, buah manis dari keberhasilan mereka meraih posisi puncak di jaringan masing-masing telah menunjukkan bisnis MLM bukan bisnis sembarangan. Di sana ada imbalan uang, karier, popularitas dan jaringan pergaulan, yang tak kalah menarik dibanding bisnis konvensional. Jadi, buat mereka yang telah membuktikan, siapa bilang ini bisnis sambilan atau sampingan.
Riset: Ely P. Chandra. (swa)

Tidak ada komentar: