Jangan remehkan intuisi. Buktinya, hanya karena tak mengandalkan “intuisi”, Museum Getty di AS pernah rugi jutaan dolar! Itu terjadi ketika museum tersebut membeli sebuah patung yang oleh penjualnya disebut sebagai patung Yunani berumur ribuan tahun. Mereka lalu melakukan penelitian ilmiah. Kesimpulannya, benar patung itu berumur ribuan tahun dan pantas dihargai US$30 juta.
Patung Yunani itu lalu ditunjukkan kepada Frederico Zeri, salah seorang anggota dewan museum. Saat mengamati kuku jari patung itu, Zeri merasa ada yang aneh. Beberapa ahli lain, di antaranya Thomas Hoving, yang mantan direktur Metropolitan Museum of Art di New York, juga diminta melihat patung itu. Hoving pun punya “feeling” yang sama dengan Zeri. Katanya, “It was ‘fresh’.”
“Fresh” di sini jelas bukan gambaran yang pas untuk sebuah patung yang diduga berumur ribuan tahun. Investigasi pun dilakukan. Hasilnya, intuisi Zeri dan Hoving ternyata jitu. Padahal, pihak museum telah mengeluarkan dana jutaan dolar AS dan terlambat mengubah keputusannya. Jelas mereka rugi!
Kisah menarik itu dipaparkan Malcolm Gladwell dalam bukunya Blink: The Power of Thinking without Thinking. Di dalamnya, Gladwell juga menyajikan bahwa blink dibutuhkan pula di dunia bisnis. Sepakat akan hal itu, Ade Febransyah, pengamat bisnis dan manajemen dari Sekolah Bisnis Prasetiya Mulya, mengatakan bahwa, bagi dunia bisnis, intuisi diperlukan dalam mengidentifikasi opportunity gap dan pengambilan keputusan yang kritikal.
Bisnis Butuh Intuisi Oleh karena itu, Ade menyarankan agar para pebisnis maupun eksekutif yang berada pada tataran pengambil keputusan tidak mengabaikan intuisi. “Jangan sampai mereka terjebak mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, tetapi lupa akan intuisinya sendiri,” terang Ade. Ini berlaku pula bagi para pengusaha dan eksekutif muda berusia 35 tahun atau kurang. Sering, lanjut Ade, usia muda menjadikan mereka tak percaya diri pada intuisinya sendiri. Padahal, intuisi bisa menjadi salah satu pilar untuk meraih sukses di dunia bisnis.
Apa yang dilakukan Yoris Sebastian Nisiho, GM Hard Rock Cafe (HRC) Indonesia, bisa menjadi contoh. Intuisinya yang tajam menjadikan pemuda kelahiran 33 tahun silam ini tak ragu mendobrak pakem. Ia menciptakan program dengan tag line “I Like Monday”. Padahal, sebelumnya, idiom I don’t like Monday begitu melekat di persepsi masyarakat. Senin adalah hari yang paling “berat”. Namun, Yoris berpikir sebaliknya. Ia malah merancang acara-acara spesial di hari Senin. Tujuannya, untuk menghidupkan dan menyemarakkan hari pertama dalam satu minggu.
Hasilnya? Pengunjung HRC justru membeludak pada hari Senin. Bahkan tak jarang HRC tidak dapat menampung hardrockers yang ingin menikmati program “I Like Monday”.
Begitu juga Sharmila, 34. Sebelum menjadi pebisnis furnitur dan pakaian anak, ia sempat berkarier di PT Sucofindo. Dengan mengandalkan intuisi, istri Yahya Zaini ini nekat terjun menjadi entrepreneur, meski saat itu ia tak punya pengalaman sedikit pun di dunia bisnis.
Kala itu, hanya dengan modal Rp2 juta, ia mengawali bisnis jasa renovasi sofa. Dana itu plus uang muka 50% dari klien ia jadikan modal awal untuk membeli bahan dan membayar tukang renovasi. Dengan menekankan kualitas produk dan layanan purnajual, lama-kelamaan bisnis Sharmila berkembang. Pelanggannya kini tak hanya datang dari rumahan, tetapi juga dari perkantoran, hotel, dan rumah sakit.
Jenis usahanya pun kian beragam. Furnitur, perlengkapan hotel, hingga pakaian anak. Kini omzet perusahaan Sharmila mencapai Rp700—900 juta per bulan. “Ke depan, saya berencana mengembangkan bisnis ini dengan jalan syariah, bukan melalui waralaba,” kata pemilik PT Savindo Karya dan Kids Smart ini.
Intuisi pulalah yang berbicara ketika Baron Respati, dirut PT Ambar Kejora, memutuskan untuk menerima tawaran menjadi pemegang lisensi jam tangan merek Lockman. Padahal, ketika itu ia baru lulus dari Universitas San Francisco, AS.
Inovasi, Inovasi, dan Inovasi Di samping intuisi, Ade juga menekankan pentingnya inovasi berkesinambungan. Idealnya, para pengusaha dan eksekutif muda ini bisa bertindak sebagai inovator. Bagi mereka, terang Ade, mestinya hal itu tak terlalu sulit. Apalagi kebanyakan mereka sering berangkat dari ide-ide “liar”. Hanya butuh kerja keras dan kemauan untuk mengasah kemampuan agar inovasi itu bisa sampai ke tahap komersial.
Enlie Widjaja juga. Direktur PT Vivamerindo Mitra Sejahtera, sebuah perusahaan multilevel marketing (MLM), ini terus berinovasi guna menambah jumlah distributornya. Ia tak ragu menarik orang yang sudah terjun ke dunia MLM untuk bergabung dengan perusahaannya, yang bergerak di bisnis food supplement dan skin care ini.
Apa inovasi Enlie? Sejak Januari lalu ia mengubah strategi bisnis. “Jika sebelumnya pendekatan yang dilakukan berdasarkan kualitas produk, kini kami melihatnya dari sisi peluang bisnis,” ungkap Enlie. Selain itu, sarjana akuntansi dari California State University of Fresno, AS, ini membuat program baru yang dinamakan fast track.
Program ini, menurut Enlie, cukup diminati. Pasalnya, mereka yang direkrut hanya dikenai biaya Rp3,8 juta dan bisa langsung menduduki posisi manajer. Adapun si perekrut sendiri akan mendapat dana tunai Rp1 juta. Padahal, sebelumnya, untuk bisa sampai pada level manajer, akumulasi poin member harus mencapai sekitar Rp10 juta. Dengan inovasinya ini, Enlie menargetkan mampu menambah jumlah distributor hingga 100% pada tahun ini.
Sebagai pengusaha, Soegiandi tak menampik pentingnya inovasi demi kelangsungan bisnis. Inovasinya dalam menjalankan Amazone Family Entertainment Center diawali dari minatnya untuk menyediakan fasilitas bermain bagi keluarga. Menurut Soegiandi, fasilitas tersebut dapat melahirkan harmonisasi di antara anggota keluarga. Dalam menjalankan bisnisnya, pria yang punya hobi menonton film silat ini mengaku tertarik untuk membentuk brand lokal yang dikelola oleh SDM-SDM lokal pula. “Saya harus mampu membuat perusahaan lokal yang baik, jangan cuma mengandalkan sistem franchise dan tergantung pada asing,” tekadnya.
Oleh karenanya, Soegiandi mencoba membuat Amazone mempunyai ciri khas. Ia menawarkan konsep one-stop entertainment. Maksudnya, mulai dari interior, mesin, sampai permainan disuguhkan lengkap tak hanya bagi anak kecil, tetapi juga orang dewasa. Di samping itu, Soegiandi menjanjikan pihaknya akan memberikan pelayanan yang terbaik dan memuaskan bagi konsumen.
Baron Respati juga mengembangkan bisnisnya lewat inovasi. Kini ia membawahkan beberapa perusahaan, seperti Asia Finance, Kafe Oh La La, serta pemegang lisensi Lockman Italy dan Bucherer Executive. Ia menawarkan sistem waralaba untuk kafe Oh La La sejak tahun 2000. Usahanya tak sia-sia. Kini kafe made in lokal itu beranak pinak menjadi 46, yang tersebar di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan kota-kota lain. Bahkan, di masa krisis pun Baron terus membuka cabang.
Yoris juga terus menggali inovasinya. Setelah sukses dengan “I Like Monday”-nya, ia menggandeng Oscar Lawalata untuk mendesain fashion khusus bagi HRC. Menurut Yoris, inovasi ini dilakukan karena ia melihat peluang baju-baju HRC bukan lagi sekadar suvenir, tetapi sudah menjadi fashion item. Ke depan, pria kelahiran Makassar ini berencana menggandeng desainer-desainer muda lainnya dengan maksud yang sama.
Memimpin dengan Gaya Moderat Jika anak-anak muda itu terbilang piawai dalam menciptakan ide-ide bisnis, bagaimana cara mereka saat mengelola SDM? Dengan jujur Eddy Santoso Setiawan, presdir PT Sanex Telekomunikasi, mengakui bahwa ia memilih cara moderat. Dengan cara itu, ia tak merasa sulit dalam menghadapi karyawan maupun mitra usaha. “Di bidang telekomunikasi, kebanyakan kami sama-sama masih muda. Jadi, nyaris tak ada masalah,” tambah Eddy.
Kalau Baron punya pendekatan lain. Ia menerapkan konsep manajemen dari hati dengan mengutamakan pendekatan personal. Kata pria 23 tahun ini, setiap hari ia selalu menyempatkan diri untuk menyapa dan memberikan arahan kepada para kepercayaannya yang ada di setiap cabang. Jika tak bisa dengan tatap muka, ia melakukannya via telepon, Dengan cara seperti itu, Baron berharap para karyawannya memiliki loyalitas yang tinggi.
Lilis Setiadi, director head of sales PT Schroder Investment Management Indonesia, memilih memberikan keleluasaan kepada para bawahannya untuk menerapkan strategi guna mencapai target. “Saya percaya target adalah target, tetapi bukan berarti tidak ada fleksibilitas di dalamnya,” tegas Lilis.
Gaya moderat diadopsi pula oleh Enlie. Wanita kelahiran Jakarta, 13 Mei 1971 ini mengaku, dalam menetapkan target ke bawahan, ia selalu menyertakan arahan dan cara untuk mencapainya. Tujuannya, agar proses yang mereka lakukan terarah.
Hari Sudarmadji, managing partner Optima Consulting, menilai gaya kepemimpinan anak-anak muda sekarang memang terkesan lebih moderat. Ini dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berkaitan dengan terciptanya era reformasi yang menyebabkan makin terbukanya iklim bisnis. Adapun faktor internal dipengaruhi oleh sifat dasar anak-anak muda itu yang cenderung tak mau dikekang. Meski demikian, Hari mengingatkan agar anak-anak muda itu tak selalu membuka keran informasi seluas-luasnya. “Mereka juga harus pintar-pintar menyaring. Sebab, dalam bisnis, terkadang ada hal-hal yang tak bisa didiskusikan dengan bawahan,” ujar Hari.
Bukan hanya moderat, anak-anak muda ini juga merasa lebih sreg menerapkan sistem kekeluargaan. “Saya tanamkan kepada karyawan bahwa kami ini merupakan satu keluarga. Perusahaan ini milik mereka juga,” ungkap Sharmila. Maka, ia pun menjadikan karyawan-karyawannya sebagai mitra bisnis.
Begitu pula dengan Soegiandi. Dalam mengelola SDM, peraih gelar magister manajemen internasional dari Prasetiya Mulya ini menciptakan hierarki yang serupa dengan keluarga di rumah. Ia mengibaratkan setiap cabang bak satu rumah yang dipimpin oleh satu kepala keluarga. Namun, sebagai pimpinan, Soegiandi tak menampik bahwa ia berharap bisa menjadi “bos” yang disegani, bukan ditakuti. Pasalnya, kata Soegiandi, kalau hubungan atasan dan bawahan didasarkan rasa “takut”, suasana kerja pun tak akan nyaman. Dengan sistem kekeluargaan, ia yakin perusahaan bakal lebih fleksibel menghadapi perubahan dan lebih efisien.
Aktivitas bisnis anak-anak muda itu patut diacungi jempol. Betapa tidak, dalam usia muda, mereka mau bekerja keras, mengelola bisnis, dan menjadi leader. Namun, Ade Febransyah mengingatkan mereka untuk terus mengasah kemampuan, memperluas wawasan, dan tak berhenti berinovasi. Last but not least, mereka juga harus berani mengambil keputusan. Intuisi dan inovasi saja tak akan berarti apa-apa jika “the young entrepreneur & executive” itu tak berani mengambil keputusan. Tentu bukan asal keputusan, tetapi keputusan yang jitu.
Kiat Sukses para Pengusaha dan Eksekutif Muda:
1. Dalam berkarier, seorang eksekutif jangan terpaku hanya pada satu organisasi. Ini untuk mendapatkan pengalaman, pengetahuan, dan situasional leadership yang berguna sebagai modal meningkatkan jenjang karier. Sedangkan sebagai pengusaha, jangan hanya terfokus pada satu bidang. Usaha yang sudah ada terus dikembangkan, tetapi tetap sejalan dengan kompetensi inti.
2. Perluas wawasan, pengalaman, dan kemampuan leadership.
3. Jangan lupakan intuisi, jangan berhenti berinovasi.
4. Berani mengambil keputusan.
5. Seiring dengan makin bertambahnya usia, sebaiknya makin matang dan tepat pula dalam mengambil keputusan.
Sumber: Kamis, 1 Juni 2006 09:00 WIB - warta ekonomi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar